Peristiwa ini terjadi sudah sangat lama, pada tahun 1990an. Dialami oleh
 mak Sari, seorang wanita berumur 50 tahunan. Mak Sari tinggal di sebuah
 desa terpencil di Cianjur. Desa yang masih menggunakan lampu minyak 
sebagai penerangan, dan di kelilingi hutan. Desa ini hanya ditinggalin 
beberapa ratus kepala keluarga, itu pun tersebar di seluruh desa, 
mengakibatkan jarak antara rumah masih sangat renggang. Tertuma 
rumah-rumah yang berada diujung desa, mungkin seratus meter sekali baru 
akan ditemukan rumah. Mak Sari mempunyai profesi penanam padi, namun 
saat tidak sedang musim tanam padi ia mengandalkan keahliannya yang lain
 untuk mencari nafkah, yaitu membantu wanita melahirkan atau biasa 
dibilang dukun beranak. Untuk pekerjaannya ini mak Sari tidak menerima 
uang sebagai bayarannya, ia biasa menerima hasil kebun atau hasil 
pertanian. Tapi mak Sari tetap bersemangat melaksanakan profesinya yang 
satu ini, maklum di desanya saat itu tidak ada tenaga medis atau bidan 
sama sekali. Seluruh warga desa masih mengandalkan jasa-jasa tradisional
 untuk hal-hal yang menyakut kesehatan seperti melahirkan atau khitanan.
 Mak Sari juga sudah cukup terkenal di desanya, seluruh warga sudah 
tidak meragukan lagi kemampuannya. Mak Sari tinggal sendiri di sebuah 
rumah gubuk, sebenarnya ia mempunyai seorang cucu laki-laki. Tapi ia 
bekerja di luar desa, dan tidak setiap hari pulang. Tapi ketika ia 
pulang, ia selalu membawakan bahan makanan untuk mak Sari. Mak Sari 
tidak pernah keberatan tinggal sendiri, selain ia memang sudah terbiasa,
 ia juga tidak mau menyusahkan orang lain. Apa lagi setelah kematian 
suaminya beberapa tahun yang lalu akibat sakit, ia adalah wanita yang 
cukup mandiri.
Pada suatu malam saat mak Sari sedang tidur di rumahnya, tiba-tiba saya 
ada seseorang mengetuk pintunya. Mak Sari langsung bangun, ia bangun dan
 mengambil lampu minyak, dan bergegas ke pintu. Siapa yang mengetuk 
pintu tengah malam begini, pikirnya. Tanpa ragu mak Sari membuka 
pintunya, ia memang sudah agak biasa di datangi orang malam-malam.
“Maaf mak mengganggu malam-malam, tapi saya butuh bantuan mak. Istri 
saya mau melahirkan.” Jawab seorang laki-laki berumur 28 tahunan ketika 
mak Sari membuka pintu. “oh iya, sebentar saya siap-siap dulu.” Mak Sari
 masuk ke rumah, mengambil beberapa kain dan peralatan yang ia perlukan.
 Mak Sari kembali keluar, “dimana rumahnya?” “Mari mak saya antarkan.” 
Pria itu mengarahkan mak Sari, diantara kegelapan hutan-hutan, cahaya 
dari obor yang dibawa pria itulah satu-satunya penerangan. Pria itu 
terus menuntun mak Sari melewati desanya, semua rumah tertutup dan jalan
 pun sepi. Maklum sudah tengah malam, pasti seluruh warga desa sudah 
tidur. Memang kadang profesi mak Sari sebagai dukun beranak mengharuskan
 dia siaga saat tengah malam. Setelah cukup lama berjalan, akhirnya 
mereka sampai. Ternyata rumah pria itu berada di perbatasan desa, dengan
 tanah yang agak menurun ke bawah. Jarak antara rumah itu dengan rumah 
warga yang lain pun agak jauh, setelah susah payah melewati jalan yang 
menurun. Mak Sari sampai di sebuah rumah berbilik ayaman bambu, dan atap
 dari pohon kelapa. Sebuah lampu minyak menempel di dinding depan, 
setelah meletakan obor di depan rumah, mereka pun masuk. “Cepat mak, 
kasihan istri saya sudah kesakitan.” Mak Sari segera masuk ke kamar, 
ternyata di dalam kamar sudah terbaring seorang wanita yang agak lebih 
muda dari pada pria itu. wanita itu sudah dalam posisi melahirkan, dan 
ia berteriak-teriak kesakitan. Mak Sari dengan sigap membantunya, dengan
 lebut mak Sari memijat perut wanita itu agar si janin dapat turun. 
Tetapi ternyata janin itu belum juga turun, kepalanya pun tidak tampak. 
Mak Sari agak kewalahan, ia terus memijat-mijat. Tapi tidak juga 
terlihat. Sedangkan wanita itu sudah teriak kesakitan, mak Sari semakin 
panik. Akhirnya ia menarik napas panjang, “bismilah hirohman hirohim.” 
Tiba-tiba wanita itu teriak keras sekali, disusul si pria. Mak Sari 
kaget, tapi ia tidak menggubrisnya. Ia menekan perut si wanita dengan 
sekuat tenaga, akhirnya bayi itu mulai terlihat. Mak Sari menuntaskan 
tugasnya. Akhirnya bayi itu lahir. Setelah membungkus dengan kain yang 
ia bawa, mak Sari memberikan bayi itu kepada ibunya. Ia kemudian 
membungkus ari-ari bayi itu untuk segera dikuburkan, tapi kemudian pria 
itu datang menghampirinya. “sudah biarkan mak, nanti saya yang urus.” 
Mak Sari bingung, karena biasanya itu adalah tugasnya, tapi ia menurut 
saja. Ketika ia kembali ke kamar, ternyata wanita itu sudah duduk di 
bibir kasur dan menggendong anaknya. Keheranan mak Sari kembali muncul, 
mana mungkin. Ia baru saja melahirkan. Beberapa menit kemudian mak Sari 
minta diantarkan pulang, pria itu pun menyetujuinya. Mak Sari diantarkan
 pulang, selama perjalanan pulang pira itu tidak memberikan apa-apa 
kepada mak Sari. Tapi mak Sari tidak keberatan, mungkin memang pria itu 
tidak punya apa-apa untuk diberikan. Mak Sari ikhlas membantu, jadi 
tidak masalah. Mak Sari kembali sampai ke rumahnya, laki-laki itu 
mengucapkan terima kasih lalu pergi. Ia pergi cepat sekali, sekelebat di
 malam yang gelap. Mak Sari masuk ke dalam rumahnya, ia membersihkan 
diri dan tidur.
Keesokan harinya cucu mak Sari kebetulan pulang, mak Sari membuat sebuah
 obat untuk wanita yang baru saja melahirkan. Ia membuatnya dari 
bahan-bahan yang berasal dari tanaman yang ia cari sendiri, ia bermaksud
 mengantarkannya kepada wanita yang semalam ia bantu. Setelah selesai, 
mak Sari meminta cucunya mengantarkan. Cucunya bersedia, mereka pun 
berangkat. Mak Sari masih sangat ingat jalan-jalan yang ia lalui 
semalam, dan mereka akhirnya sampai di turunan itu. berarti sudah sangat
 dekat, mereka melawati jalan yang menurun itu. tapi ketika sampai, mak 
Sari kaget. Mereka berdiri di tanah kosong yang berisi pepohonan lebat, 
tidak ada rumah. Hanya hutan dengan pohon-pohon besar di dalamnya, cucu 
mak Sari keheranan. “mak yakin ini rumahnya?” tanya cucunya. “iya, 
semalam itu disini rumahnya.” Mak Sari melihat sekitar, ia keheranan. 
“tapi ini sudah batas desa mak, tidak ada rumah disini.” firasat mak 
Sari mengatakan ada yang sesuatu yang tidak benar, akhirnya mereka 
memutuskan untuk pulang karena memang cucunya tidak bisa berlama-lama, 
ia harus segera kembali ke tempatnya bekerja. Selama perjalanan pulang, 
mak Sari masih saja keheranan. Sampai malam harinya.
Seperti biasa setelah melaksanankan sholat isya mak Sari meluangkan 
sedikit waktunya untuk mengaji, setelah itu baru tidur. Ketika mak Sari 
baru saja selesai mengaji, tiba-tiba pintu rumahnya kembali ada yang 
mengetuk. Ia segera berdiri dan berjalan menuju pintu rumah, masih 
mengenakan mukenanya. Ketika mak Sari membuka pintu, Mak Sari merasa 
kaget. Ia melihat dua mahluk besar hitam berbulu berdiri di depan teras 
rumahnya, mak Sari dapat melihat mahluk itu dengan jelas di bawah sinar 
lampu minyak. Mahluk itu memiliki rupa setangah binatang setengah 
manusia, dengan jari-jari yang sangat besar. Mata kedua mahluk itu merah
 menyala, keduanya terus memperhatikan mak Sari.
“Astaghfirulah.” Ujar mak Sari refleks, saat mendengar kalimat itu kedua
 mahluk hitam itu menggeram. Mak Sari memegang pintu rumahnya kencang, 
jantungnya berdetak cepat sekali, dan tubuhnya kaku. Tapi di dalam 
hatinya mak Sari merasa ia tidak perlu takut, jadi ia tetap berusaha 
tenang. “mau apa kalian datang, jangan ganggu saya” ucap mak Sari 
lantang. Mahluk itu masih diam saja. “mak tidak pernah mengganggu 
kalian, kalian punya alam kalian sendiri. Jadi pergi.” Mahluk itu masih 
diam saja. Akhirnya mak Sari kesal, ia mengambil sebuah gelas besi dan 
melemparnya ke arah mahluk itu. di dalam hatinya mak Sari terus 
berdzikir agar dirinya dikuatkan. Tapi seketika itu mahluk itu hilang 
saat gelas besi itu akan mengenai tubuh mereka, setelah itu mah Sari 
masuk ke dalam. Ia meneruskan membaca Al Quran hingga ia ketiduran, ia 
terbangun saat waktu sholat subuh. Mak Sari melanjutkan menunaikan 
sholat subuh, ketika matahari mulai naik ia baru berani keluar rumah. 
Saat ia keluar rumah, ia kaget dengan apa yang ia temukan. Mak Sari 
menemukan banyak sekali buah-buahan hasil kebun, singkong, ubi, dan 
beberapa sayuran. Semua tertumpuk di depan rumahnya, awalnya ia 
ragu-ragu. Namun saat ia sudah memastikan bahwa itu memang benar adanya,
 ia membawanya masuk ke dalam rumah. Mak Sari sempat bingung, tapi 
kemudian ia mengerti. Ternyata pria dan wanita yang ia bantu saat itu 
bukanlah manusia, mungkin sebangsa jin. Itulah mengapa saat ia 
mengucapkan “bismilah” mereka teriak, dan si wanita itu sudah dapat 
duduk setelah melahirkan. Mungkin ini adalah tanda ucapan terima kasih 
dari mereka, mak Sari kemudian mengkonsumsi bahan makanan itu. tetapi 
sebelumnya ia tentu berdoa semoga tidak ada hal negatif di dalamnya, dan
 ternyata memang tidak ada apa-apa. Itu hanya bahan makanan biasa, tidak
 kurang tidak lebih. Pengalaman itu tidak pernah bisa di lupakan oleh 
mak Sari, pengalaman yang sama sekali tidak masuk di akal. Tapi ternyata
 terjadi padanya, mungkin memang ada kehidupan lain selain kehidupan 
manusia di dunia ini. manusia hidup berdampingan dengan mahluk lain, 
tapi itu tidak masalah selama memang tidak saling mengganggu. Seluruh 
mahluk punya dunia masing-masing, dan mak Sari tidak akan melupakannya.
 
 
No comments:
Post a Comment